Aceh Terancam Dampak Hidrometeorologi Akibat Perubahan Iklim Global

Senin, 10 Februari 2025 | 14:24:34 WIB
Aceh Terancam Dampak Hidrometeorologi Akibat Perubahan Iklim Global

JAKARTA - Perubahan iklim global yang kian mengkhawatirkan telah memberikan dampak signifikan terhadap kondisi cuaca di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, khususnya Provinsi Aceh. Meningkatnya suhu dan perubahan pola cuaca akibat pemanasan global menjadi momok yang semakin nyata bagi masyarakat Aceh, menimbulkan ancaman hidrometeorologi yang kian sering terjadi.

Menurut Dr. Saumi Sahreza, Ketua Departemen Fisika MIPA Universitas Syiah Kuala (USK) sekaligus Ketua Divisi Penelitian Mitigasi Bencana Hidrometeorologi dan Perubahan Iklim TDMRC USK, suhu bumi telah mengalami peningkatan yang tidak bisa diabaikan sejak era industrialisasi. Dalam wawancara dengan Radio Republik Indonesia (RRI) Banda Aceh, Dr. Saumi menjelaskan peningkatan suhu global dan anomali cuaca yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir.

"Suhu global sejak tahun 1850 telah meningkat sebesar 1,1 derajat Celcius, dan pada tahun 2016 hingga 2020 tercatat sebagai tahun dengan suhu tertinggi sepanjang sejarah. Bahkan, pada Juni 2023, anomali suhu bumi mencapai 1,48 derajat Celcius. Ini adalah angka yang mengkhawatirkan dan harus menjadi perhatian serius," kata Dr. Saumi.

Dampak perubahan iklim, lanjutnya, tidak hanya dirasakan secara global tetapi juga sangat nyata di Aceh. Naiknya suhu menyebabkan perubahan pola cuaca yang drastis, dengan curah hujan yang lebih banyak di satu sisi dan kekeringan yang parah di sisi lain. Fenomena ini berdampak besar terhadap sektor pertanian yang menjadi tulang punggung perekonomian Aceh.

Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa sejak tahun 2010, Provinsi Aceh mengalami peningkatan suhu udara yang cukup signifikan. Pertumbuhan suhu di wilayah ini berdampak pada gagal panen dan kekeringan terutama di daerah-daerah seperti Aceh Besar dan Aceh Utara, sementara curah hujan ekstrem meningkatkan risiko banjir di bagian selatan dan tengah Aceh.

"Anomali suhu di Aceh sejak tahun 2000 telah meningkat hingga 1,9 derajat Celcius. Ini memicu masalah serius dalam sektor pertanian kita. Contohnya, banyak petani di Aceh Besar dan Aceh Utara mengalami gagal panen karena kekeringan," ungkap Dr. Saumi.

Frekuensi terjadinya bencana hidrometeorologi, tambahnya, meningkat pesat. Bencana banjir yang pada masa lalu terjadi dengan interval puluhan tahun kini terjadi dalam waktu yang lebih singkat. Curah hujan pada tahun 2021 di Banda Aceh mencapai 175,5 mm per hari, sebuah angka yang termasuk dalam kategori ekstrem, mengakibatkan banjir yang lebih sering dan merusak.

"Jika melihat dari data historis, banjir besar yang sebelumnya terjadi setiap 20-an tahun, kini jaraknya hanya sekitar 18-20 tahun. Ini sangat mengkhawatirkan," jelas Dr. Saumi.

Penelitian dari Departemen Fisika USK menunjukkan adanya penurunan jumlah hari kering, yang berarti perubahan pola cuaca sedang berlangsung. Semua ini menandakan kebutuhan akan strategi mitigasi dan adaptasi yang segera dan terencana dengan baik.

Untuk mengatasi ancaman ini, Dr. Saumi menekankan pentingnya langkah-langkah mitigasi dan adaptasi. Ini termasuk perencanaan tata ruang yang memperhitungkan risiko bencana, peningkatan kapasitas sistem drainase kota, dan penerapan teknologi pertanian yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim.

"Pemerintah dan masyarakat Aceh harus bersatu dalam menghadapi tantangan perubahan iklim ini. Kerja sama antar pihak sangat penting untuk meminimalisir dampak buruknya terhadap kehidupan dan lingkungan kita," tutup Dr. Saumi.

Demi masa depan yang lebih baik, semua pihak di Aceh, baik itu pemerintah, akademisi, maupun masyarakat umum, harus bergandeng tangan dalam mengambil langkah-langkah strategis yang diperlukan untuk menghadapi dampak perubahan iklim global yang kian nyata.

Terkini