JAKARTA - Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 20–21 Mei 2025, BI memutuskan tidak melanjutkan tren penurunan suku bunga dan menetapkan BI?Rate sebesar 5,50?%. Keputusan ini diambil berdasarkan tiga pertimbangan utama:
Inflasi rendah dan terkendali, dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 1,95?% YoY di April 2025
Stabilitas nilai tukar rupiah yang relatif kuat dan menguat, didukung intervensi pasar BI
Dorongan pertumbuhan ekonomi, di mana BI menilai perlu memberikan stimulus moneter agar konsumsi dan investasi kembali bergairah
Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, “Kemudian timing penurunan BI?Rate akan bergantung pada kondisi global, khususnya stabilitas rupiah.”
Meskipun BI menahan BI?Rate, nada terbuka tetap disampaikan oleh BI. BI telah memangkas suku bunga sebanyak tiga kali sejak September 2024, dan kini memberikan sinyal kemungkinan easing tambahan jika kondisi eksternal dan stabilitas makro kondusif
Permintaan BI ke BCA: Turunkan Suku Bunga Kredit dan Simpanan
BI menekankan bahwa keputusan mempertahankan BI?Rate harus disertai dengan respons dari perbankan komersial untuk menurunkan suku bunga kredit (lending rate) dan suku bunga simpanan (deposit rate), agar stimulus moneter dapat mengalir ke masyarakat dan pelaku usaha
Larangan BI juga mencakup desakan agar suku bunga kredit menurun dari angka tinggi saat ini, sebab pertumbuhan kredit perbankan tumbuh paling lambat sejak Juni 2023, yakni 8,43?% di Mei 2025
BCA: Belum Ada Rencana Turunkan Bunga Simpanan
Menanggapi permintaan BI, BCA memilih untuk menahan kebijakan suku bunga simpanannya. Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, menjelaskan bahwa suku bunga simpanan di pasar dipengaruhi oleh dua acuan
Yield Surat Berharga Negara (SBN).
Meskipun BI?Rate turun, yield SBN masih tinggi, sehingga investor tetap tertarik menempatkan dananya di instrumen tersebut. Jahja menegaskan, “Kalau gapnya cukup besar, bank juga tidak berani serta-merta menurunkan suku bunga untuk depositonya.”
Keseimbangan Antara BI?Rate dan Yield SBN
BCA mengamati adanya keseimbangan yang perlu dijaga antara suku bunga simpanan dan yield SBN. Jika bunga deposito terlalu rendah, nasabah bisa beralih ke SBN dengan potensi imbal hasil lebih tinggi. Hal ini bisa mengurangi dana pihak ketiga (DPK) di bank.
Jahja menambahkan bahwa keputusan BI perlu dipandang sebagai upaya menjaga stabilitas dan kepastian, bukan hanya menurunkan bunga .
Implikasi Terhadap Kredit dan Likuiditas
Dengan BI?Rate yang tetap, ekspektasi penurunan suku bunga kredit juga ditunda. Hal ini memengaruhi daya beli konsumen dan investasi usaha. Pertumbuhan kredit perbankan yang stagnan mencerminkan kondisi ini .
Namun, BI telah mengeluarkan kebijakan lain seperti pelonggaran cadangan wajib (reserve requirement) yang memberikan likuiditas sebesar Rp?372?triliun ke sistem perbankan, sebagai upaya untuk memperlancar penyaluran kredit
Sinergi Kebijakan Moneter, Fiskal, dan Makroprudensial
BI tidak bekerja sendirian. Keputusan moneter ini disertai dengan kebijakan istiqomah melalui bauran makroprudensial dan dukungan fiskal pemerintah, termasuk stimulus transport dan bantuan sosial senilai US$1,5 miliar untuk mendongkrak konsumsi rumah tangga
BI juga memperkuat operasi pasar, memperdalam pasar valas dan uang, serta meningkatkan rasio pendanaan luar negeri bank untuk menjaga likuiditas terjaga dan penurunan suku bunga terlaksana ke level kredit dan simpanan
Prospek dan Tantangan ke Depan
Banyak ekonom memprediksi BI akan memangkas BI?Rate kembali – sejumlah 50 bps dalam semester II 2025, bergantung pada inflasi, rupiah, dan kondisi global
Namun, BCA dan bank lain menghadapi tantangan menarik suku bunga simpanan dan kredit meskipun BI?Rate turun. Mereka harus menyeimbangkan antara daya tarik pasar (SBN), stabilitas dana, dan tekanan likuiditas.
Kesimpulan: BI Tetap Bersikap Hati?hati, BCA Prioritaskan Stabilitas Nasabah
BI mempertahankan BI?Rate di 5,50?% dengan alasan solid: inflasi rendah, rupiah stabil, dan perlunya dorongan ekonomi. Namun, BI tetap membuka pintu bagi penurunan suku bunga lebih lanjut jika prospek mendukung.
Sementara itu, BCA menolak menurunkan bunga simpanan secara langsung, memilih menjaga kestabilan dana nasabah dengan memperhatikan yield SBN dan struktur likuiditas. Pernyataan Jahja Setiaatmadja menegaskan bahwa bank perlu menjaga keunggulan kompetitifnya dan tidak mau gegabah
Kondisi ini menandai fase win?win policy antara BI dan bank, namun dengan tantangan bersama: memastikan suku bunga menurun tepat sasaran agar kredit murah mengalir, inflasi masih terkendali, dan nilai tukar tetap stabil.
Rekomendasi Bagi Masyarakat dan Pelaku Ekonomi
Masyarakat: Bijak memilih instrumen dana – deposito atau SBN – sesuai profil risiko dan kebutuhan.
Usaha dan kredit konsumen: Perhatikan suku bunga kredit yang belum turun signifikan. Pertimbangkan timing pinjaman agar suku bunga turun terhadap besarnya rate.
Bank: Perlu strategi pipeline SBN dan simpanan agar tetap kompetitif tanpa menekan margin.
BI & Pemerintah: Terus jaga sinergi kebijakan fiskal?moneter dan monitor respons pasar agar cycle easing dapat diikuti penurunan suku bunga kredit.
Dengan lanskap global yang masih rapuh dan tekanan inflasi rendah, bulan-bulan mendatang bisa menjadi momentum penting: BI bisa melanjutkan easing, tapi bank harus menunjukkan respons nyata. Bagaimana BCA dan perbankan nasional bertindak selanjutnya akan jadi lampiran penting dalam dinamika ekonomi Indonesia di 2025.