Al Khoziny

Tragedi Al Khoziny, MUI Desak Kemenag Bentuk Dirjen Kepesantrenan

Tragedi Al Khoziny, MUI Desak Kemenag Bentuk Dirjen Kepesantrenan
Tragedi Al Khoziny, MUI Desak Kemenag Bentuk Dirjen Kepesantrenan

JAKARTA - Insiden ambruknya Gedung Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo bukan hanya menyisakan duka, tetapi juga memantik refleksi serius atas tata kelola pesantren di Indonesia. Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan menilai, musibah tersebut menjadi alarm keras bagi pemerintah, khususnya Kementerian Agama (Kemenag), untuk memperkuat pengawasan melalui pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Kepesantrenan.

Menurut Amirsyah, pembentukan Ditjen khusus itu mendesak dilakukan karena jumlah pesantren di Indonesia telah melampaui 40 ribu. Banyak di antaranya berdiri dengan karakteristik dan sistem pengelolaan yang beragam. Tanpa struktur birokrasi yang kuat, pengawasan terhadap lembaga pendidikan berbasis keagamaan tersebut dikhawatirkan tidak berjalan maksimal.

“Melalui Kementerian Agama, sudah berkali-kali kita sampaikan bahwa membina dan mengawasi semua pesantren yang 40 ribu lebih ini bukan hal mudah. Sudah sepatutnya dibutuhkan satu struktur birokrasi, yaitu Direktorat Jenderal Pendidikan Kepesantrenan,” ujar Amirsyah saat ditemui di Kantor MUI Pusat, Jakarta, Selasa, Oktober 2025.

Amirsyah menegaskan, pengawasan pesantren bukan semata tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak—baik swasta maupun masyarakat. Ia menilai, kemitraan lintas sektor akan memperkuat pengelolaan serta memastikan kelayakan sarana dan prasarana pendidikan keagamaan di seluruh daerah.

“Ini merupakan tanggung jawab bersama. Pemerintah, swasta, dan masyarakat harus ikut terlibat dalam upaya menata kembali gedung-gedung atau lembaga pendidikan pesantren,” jelasnya.

Perlu Tata Kelola dan Standar Keselamatan

Ambruknya bangunan Ponpes Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, beberapa waktu lalu menelan puluhan korban jiwa. Peristiwa tragis itu membuka mata banyak pihak tentang pentingnya standar keselamatan dan kelayakan bangunan di lingkungan pendidikan, khususnya pesantren yang banyak dihuni santri dalam jumlah besar.

Direktur Operasi Pencarian dan Pertolongan Basarnas RI, Laksamana Pertama TNI Yudhi Bramantyo, yang bertindak sebagai SAR Mission Coordinator (SMC), mengungkapkan data terbaru dari proses evakuasi di lokasi kejadian. Hingga hari kesembilan pencarian, tercatat 67 korban meninggal dunia berhasil ditemukan, termasuk delapan bagian tubuh (body part) yang teridentifikasi sebagian.

“Sampai dengan hari ke-9, Selasa 7 Oktober 2025, kami telah berhasil mengumpulkan 67 pack dengan rincian delapan body part. Terakhir, pada pukul 21.03 WIB Senin, 6 Oktober 2025,” kata Yudhi dalam keterangan di Posko Tanggap Darurat Sidoarjo.

Secara keseluruhan, total korban yang berhasil dievakuasi mencapai 171 orang, terdiri dari 104 korban selamat dan 67 meninggal dunia, termasuk delapan potongan tubuh yang masih menunggu identifikasi tim DVI.

Yudhi menambahkan, data tersebut masih bisa bertambah seiring proses identifikasi dan pencarian lanjutan di lokasi reruntuhan. Pihaknya berkomitmen memastikan seluruh korban terdata dengan tepat agar proses pemulangan jenazah dapat dilakukan secepatnya kepada pihak keluarga.

MUI: Momentum Perbaikan Sistem Pengawasan Pesantren

Menyikapi kejadian itu, MUI menilai peristiwa ambruknya gedung Al Khoziny harus dijadikan momentum untuk memperkuat sistem pengawasan pesantren di Indonesia. Menurut Amirsyah, pembinaan pesantren saat ini masih tersebar di sejumlah unit di Kemenag tanpa koordinasi yang optimal.

Ia mencontohkan, ada pesantren yang fokus pada pendidikan formal, sebagian berbasis tahfiz, sementara lainnya mengelola asrama dan lembaga pendidikan tradisional. Keragaman karakter ini menuntut adanya struktur khusus di tingkat kementerian agar kebijakan dan pengawasan lebih terarah.

“Kalau bicara jumlah, pengawasan terhadap 40 ribu pesantren di Indonesia jelas bukan pekerjaan ringan. Karena itu, dibutuhkan sinergi lintas pihak dan struktur kelembagaan yang jelas agar pembinaan bisa dilakukan secara berkelanjutan,” kata Amirsyah.

Selain aspek pengawasan, MUI juga menyoroti pentingnya pembenahan aspek keselamatan bangunan, standar pembangunan gedung pesantren, serta audit berkala oleh instansi terkait.

“Kita tidak ingin peristiwa seperti ini terulang. Pesantren adalah lembaga yang sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Maka keselamatan santri dan kelayakan infrastruktur harus menjadi prioritas,” tegasnya.

Ajakan Kolaborasi untuk Reformasi Pesantren

Dalam konteks lebih luas, Amirsyah menilai pembentukan Ditjen Pendidikan Kepesantrenan juga dapat menjadi langkah strategis dalam menyatukan visi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga pendidikan Islam.

Ia berharap, tragedi Al Khoziny menjadi titik balik lahirnya kebijakan baru yang lebih berpihak pada keselamatan, kesejahteraan, dan keberlanjutan pesantren di seluruh Indonesia.

“Kami di MUI siap mendukung dan memberikan masukan agar struktur baru ini bisa segera terbentuk dan bekerja efektif,” ujarnya menutup pernyataan.

Tragedi ambruknya gedung Ponpes Al Khoziny tak hanya menyisakan duka mendalam, tapi juga membuka kesadaran bahwa keselamatan santri dan tata kelola pesantren harus menjadi perhatian serius negara. Harapan pun kini tertuju pada langkah nyata pemerintah untuk memastikan peristiwa serupa tak kembali terjadi di masa mendatang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index