BANK

Bank Dunia Revisi Garis Kemiskinan Indonesia: Dampaknya terhadap Jumlah Penduduk Miskin

Bank Dunia Revisi Garis Kemiskinan Indonesia: Dampaknya terhadap Jumlah Penduduk Miskin
Bank Dunia Revisi Garis Kemiskinan Indonesia: Dampaknya terhadap Jumlah Penduduk Miskin

JAKARTA - Bank Dunia baru-baru ini melakukan revisi terhadap garis kemiskinan di Indonesia, yang berpotensi mengubah persepsi mengenai jumlah penduduk miskin di negara ini. Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia menetapkan ambang batas garis kemiskinan dengan penghasilan rata-rata sebesar Rp1.512.000 per orang per bulan (setara dengan US$8,30), naik signifikan dari sebelumnya yang ditetapkan sebesar US$6,85 atau sekitar Rp111.449 per orang per bulan pada tahun 2017.

Perubahan Standar Garis Kemiskinan

Perubahan ini didasarkan pada revisi Purchasing Power Parity (PPP) 2017, menggantikan PPP 2011 yang sebelumnya digunakan. PPP adalah metode yang digunakan untuk membandingkan daya beli antarnegara dengan menyesuaikan perbedaan harga barang dan jasa. Dengan menggunakan PPP 2017, Bank Dunia menyesuaikan standar garis kemiskinan untuk mencerminkan kondisi ekonomi global yang lebih akurat. 

Dalam revisi terbaru, Bank Dunia menetapkan tiga kategori garis kemiskinan berdasarkan PPP 2017:

Garis Kemiskinan Ekstrem: US$2,15 per kapita per hari (sekitar Rp32.812), yang sebelumnya US$1,90.

Garis Kemiskinan Menengah Bawah: US$3,65 per kapita per hari (sekitar Rp55.538), yang sebelumnya US$3,20.

Garis Kemiskinan Menengah Atas: US$6,85 per kapita per hari (sekitar Rp104.537), yang sebelumnya US$5,50.

Dengan perubahan ini, standar garis kemiskinan Indonesia kini lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya. Hal ini berpotensi meningkatkan jumlah penduduk yang dikategorikan miskin jika menggunakan standar baru ini. 

Dampak terhadap Jumlah Penduduk Miskin

Menurut laporan Bank Dunia, dengan diterapkannya standar garis kemiskinan baru ini, jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan akan meningkat secara signifikan. Sebelumnya, berdasarkan standar lama, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat sekitar 9,36% dari total penduduk, setara dengan sekitar 25 juta jiwa. 

Namun, dengan menggunakan standar baru yang lebih tinggi, jumlah penduduk miskin diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 61,8% pada tahun 2023, atau diperkirakan sekitar 60% pada tahun 2024. 

Perubahan ini menunjukkan bahwa meskipun ada klaim penurunan angka kemiskinan berdasarkan standar lama, kenyataannya jumlah penduduk miskin di Indonesia mungkin lebih tinggi jika menggunakan standar internasional yang lebih akurat.

Perbedaan Metode Penghitungan antara BPS dan Bank Dunia

Perbedaan signifikan antara data kemiskinan yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia terletak pada metode penghitungan yang digunakan.

BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), yang menghitung garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Metode ini lebih fokus pada kondisi lokal dan spesifik untuk Indonesia. 

Sementara itu, Bank Dunia menggunakan pendekatan global dengan mengacu pada PPP, yang memungkinkan perbandingan antarnegara dengan menyesuaikan perbedaan harga barang dan jasa. Pendekatan ini memberikan gambaran yang lebih luas dan dapat dibandingkan secara internasional.

Perbedaan metode ini menyebabkan perbedaan signifikan dalam angka kemiskinan yang dihasilkan. Meskipun BPS mencatat penurunan angka kemiskinan, Bank Dunia menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mungkin lebih tinggi jika menggunakan standar internasional yang lebih akurat.

Respons Pemerintah Indonesia

Menanggapi rekomendasi Bank Dunia untuk menaikkan batas garis kemiskinan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa Indonesia tetap membutuhkan standar sendiri dalam mengukur kemiskinan. Menurutnya, jika menggunakan standar Bank Dunia yang lebih tinggi, sekitar 40% penduduk Indonesia akan jatuh ke dalam kategori miskin. 

Pernyataan ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan konteks lokal dan kondisi spesifik negara dalam menetapkan standar kemiskinan. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa standar internasional juga memiliki peran dalam memberikan gambaran yang lebih luas mengenai kondisi kemiskinan di Indonesia.

Implikasi Kebijakan dan Tantangan ke Depan

Perubahan standar garis kemiskinan ini memiliki implikasi signifikan terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Dengan meningkatnya jumlah penduduk yang dikategorikan miskin, pemerintah perlu menyesuaikan program bantuan sosial dan kebijakan ekonomi untuk mencakup kelompok yang lebih luas.

Selain itu, perbedaan metode penghitungan antara BPS dan Bank Dunia menunjukkan perlunya harmonisasi data dan metode penghitungan agar kebijakan yang diambil lebih tepat sasaran dan efektif.

Ke depan, tantangan utama adalah bagaimana menyeimbangkan antara standar internasional dan kondisi lokal dalam mengukur kemiskinan. Penting bagi pemerintah untuk terus melakukan evaluasi dan penyesuaian terhadap metode penghitungan kemiskinan agar dapat mencerminkan kondisi sosial ekonomi yang sebenarnya.

Revisi garis kemiskinan oleh Bank Dunia menyoroti pentingnya pendekatan yang lebih akurat dan komprehensif dalam mengukur kemiskinan. Meskipun ada perbedaan dalam metode penghitungan antara BPS dan Bank Dunia, keduanya memiliki peran penting dalam memberikan gambaran mengenai kondisi kemiskinan di Indonesia. Ke depan, diperlukan upaya bersama untuk menyelaraskan data dan kebijakan agar penanggulangan kemiskinan dapat lebih efektif dan tepat sasaran.

Penting untuk diingat bahwa angka kemiskinan bukan hanya sekadar statistik, tetapi mencerminkan kondisi kehidupan jutaan penduduk yang membutuhkan perhatian dan tindakan nyata dari pemerintah dan masyarakat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index