JAKARTA - Berinvestasi menjadi salah satu cara penting untuk menjaga daya beli uang dan meningkatkan kesejahteraan finansial jangka panjang. Meski berpotensi memberikan keuntungan, investasi juga memiliki risiko kerugian. Namun, tidak berinvestasi sama sekali justru membuat nilai uang terus tergerus oleh inflasi, sehingga daya beli menurun dari waktu ke waktu.
Misalnya, uang Rp100.000 pada tahun 1990 dapat memenuhi kebutuhan hidup selama satu minggu, tetapi nilai tersebut kini jauh berkurang akibat inflasi. Oleh sebab itu, berinvestasi dapat menjadi langkah strategis untuk mengimbangi kenaikan harga barang dan jasa, sehingga kekuatan beli tetap terjaga atau bahkan meningkat.
Saat ini, instrumen investasi yang tersedia semakin beragam, mulai dari produk tradisional seperti emas, valuta asing, dan properti, hingga yang lebih modern seperti saham, obligasi, reksa dana, dan aset digital seperti kripto. Namun, keberhasilan berinvestasi tidak hanya ditentukan oleh pemilihan instrumen, tetapi juga oleh pengelolaan perilaku pribadi.
Freddy Tedja, Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), menjelaskan pentingnya mengenali dan menghindari bias psikologis yang kerap menghambat pengambilan keputusan investasi yang tepat.
“Dalam berinvestasi terdapat sejumlah perilaku bias yang berpotensi menyebabkan keputusan yang tidak optimal, bahkan berujung pada spekulasi tanpa dasar. Untuk memperbaikinya dibutuhkan kesadaran diri serta komitmen menggunakan logika dan data, bukan hanya mengandalkan emosi,” ujarnya.
Overconfidence – Terlalu Percaya Diri Berisiko Menyesatkan
Salah satu bias yang umum adalah overconfidence atau kepercayaan diri berlebihan. Investor yang mengalami bias ini sering merasa sangat mampu memprediksi pergerakan pasar sehingga mengambil risiko berlebih.
Freddy menjelaskan, “Investor dengan overconfidence cenderung melakukan trading lebih sering karena yakin bisa mendapatkan keuntungan besar dalam waktu singkat. Mereka mengabaikan biaya transaksi dan risiko dari investasi yang kurang terverifikasi.”
Bias ini juga membuat investor bereaksi impulsif terhadap fluktuasi pasar, sehingga terjebak dalam pola buruk seperti “buy high, sell low,” yang justru merugikan.
Untuk menghindari jebakan ini, Freddy menyarankan, “Investor harus tetap tenang, belajar terus menerus, mencari perspektif berbeda dari sumber tepercaya, serta memegang teguh strategi investasi jangka panjang dan pengelolaan risiko yang baik.”
Loss Aversion – Takut Rugi Menghilangkan Peluang
Kebalikan dari overconfidence adalah loss aversion, yaitu ketakutan berlebihan terhadap kerugian yang membuat investor enggan mengambil risiko dan melewatkan peluang pertumbuhan.
“Bias ini sering membuat orang memilih opsi minim risiko seperti menabung di bank, padahal hasilnya tidak cukup untuk mengimbangi inflasi,” kata Freddy.
Akibatnya, banyak investor gagal mencapai tujuan keuangan jangka panjang karena membatasi potensi keuntungan mereka sendiri. Kekurangan informasi sering menjadi pemicu utama perilaku ini.
“Di era digital saat ini, informasi tentang investasi sangat mudah diakses. Sayangnya, masih banyak orang yang lebih memilih konten kurang produktif daripada meluangkan waktu untuk belajar soal investasi,” tambah Freddy.
Herding Mentality – Ikut-ikutan Tanpa Analisis Berbahaya
Bias ketiga yang perlu diwaspadai adalah herding mentality, yakni mengikuti tren atau keputusan mayoritas tanpa analisis dan pemahaman yang memadai.
Freddy menjelaskan, “Banyak investor percaya bahwa jika banyak orang melakukan sesuatu, maka keputusan tersebut pasti benar. Bahkan jika salah, mereka merasa tidak sendirian menanggung kerugian.”
Namun, mengikuti arus tanpa riset bisa menimbulkan gelembung pasar (market bubble), di mana harga aset melonjak jauh melebihi nilai sebenarnya sebelum akhirnya jatuh drastis.
Setiap investor memiliki tujuan, toleransi risiko, dan harapan imbal hasil yang berbeda. Oleh karena itu, strategi investasi harus disesuaikan dengan profil dan kondisi masing-masing.
“Investor harus membuat keputusan berdasarkan riset mendalam, berkonsultasi dengan profesional, serta memahami diri sendiri dan profil risikonya. Jangan hanya ikut tren atau mengandalkan insting,” tegas Freddy.
Pentingnya Edukasi dan Kesadaran Diri
Keberhasilan investasi tidak lepas dari manajemen perilaku yang baik. Kesadaran diri terhadap bias psikologis membantu investor membuat keputusan lebih rasional dan terukur.
Selain itu, edukasi berkelanjutan mengenai produk investasi dan dinamika pasar sangat krusial. Dengan memahami karakter instrumen dan risiko yang melekat, investor dapat mengelola ekspektasi serta memaksimalkan peluang yang ada.
Freddy menyimpulkan, “Berinvestasi bukan soal keberuntungan, melainkan proses belajar dan disiplin. Hindari emosi yang berlebihan, bias perilaku, dan lakukan investasi dengan strategi yang matang untuk meraih stabilitas finansial jangka panjang.”
Dalam dunia investasi, mengelola diri sama pentingnya dengan mengelola portofolio. Hindari tiga bias psikologis utama overconfidence, loss aversion, dan herding mentality agar keputusan investasi tetap rasional dan berdasarkan data.
Pilih instrumen investasi yang sesuai dengan profil risiko, lakukan riset, dan selalu edukasi diri agar dapat mempertahankan daya beli serta menumbuhkan kekayaan secara berkelanjutan. Dengan begitu, investasi tidak hanya menjadi alat lindung nilai terhadap inflasi, tetapi juga sarana mencapai kesejahteraan finansial di masa depan.