jenis mata uang kuno

Mengenal Ragam Contoh Jenis Mata Uang Kuno di Dunia

Mengenal Ragam Contoh Jenis Mata Uang Kuno di Dunia
jenis mata uang kuno

JAKARTA - Jenis mata uang kuno telah berkembang seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan budaya. 

Pada 17 Agustus 2022 lalu, seluruh masyarakat Indonesia merayakan kemerdekaan negara dengan semangat. 

Di samping perayaan kemerdekaan yang diwarnai berbagai lomba dan kegiatan, ada momen menarik yang menarik perhatian publik. 

Pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia mengeluarkan mata uang edisi baru yang resmi digunakan sebagai alat transaksi di seluruh negeri.

Mengutip pernyataan dari Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, uang kertas Rupiah yang dirilis pada 18 Agustus 2022 memiliki tujuh nominal dan berlaku secara sah di seluruh Indonesia. 

Perry menekankan bahwa mata uang ini merupakan simbol kedaulatan dan persatuan bangsa. Ia mengajak masyarakat untuk menghargai dan bangga terhadap rupiah sebagai representasi negara yang maju. 

Sementara itu, Sri Mulyani menambahkan bahwa Rupiah bukan hanya alat pembayaran, melainkan juga menjadi cerminan perjalanan bangsa Indonesia, yang dimulai dengan lahirnya Oeang Republik Indonesia (ORI) pada 30 Oktober 1946.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat kini lebih banyak bertransaksi menggunakan mata uang digital karena kemudahannya. 

Namun, uang tunai tetap memegang peranan penting, terutama di tempat-tempat yang masih mengutamakan transaksi tradisional. Menariknya, mata uang itu sendiri telah mengalami evolusi yang dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan budaya.

Jenis mata uang kuno yang ada saat ini mencerminkan perjalanan panjang sejarah keuangan, dan dengan beragamnya desain serta motifnya, uang kuno menunjukkan kekayaan budaya dari setiap era.

Definisi Uang

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai berbagai jenis uang kuno, ada baiknya jika kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan uang. 

Dalam konteks sistem transaksi tradisional, uang didefinisikan sebagai alat yang diterima secara luas untuk melakukan pertukaran. 

Barang dan jasa dapat dijadikan objek pertukaran, dan setiap anggota masyarakat akan menerimanya dalam proses tukar-menukar barang dan jasa. 

Dalam perekonomian modern, uang dipahami sebagai suatu objek yang tersedia dan diterima oleh masyarakat secara umum sebagai alat untuk melakukan pembayaran, baik untuk membeli barang dan jasa, memperoleh aset berharga lainnya, maupun untuk membayar utang. 

Secara singkat, uang adalah benda yang diterima secara luas sebagai ukuran nilai, alat tukar, dan sarana pembayaran dalam proses jual beli barang dan jasa. Selain itu, uang juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan kekayaan.

Keberadaan uang memungkinkan sistem transaksi yang lebih sederhana dan efisien dibandingkan dengan barter, yang lebih rumit, tidak efisien, dan tidak cocok untuk diterapkan dalam ekonomi modern karena memerlukan adanya kesamaan keinginan antara kedua belah pihak yang ingin melakukan pertukaran dan kesulitan dalam menentukan nilai barang. 

Dengan adanya uang, proses transaksi menjadi lebih efisien, yang pada gilirannya mendorong perdagangan, pembagian kerja, dan meningkatkan produktivitas serta kesejahteraan masyarakat.

Pada awalnya, di Indonesia, mata uang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Namun, sejak disahkannya UU No. 13 tahun 1968, pasal 26 ayat 1, hak pemerintah untuk mencetak uang dicabut. 

Pemerintah kemudian menetapkan Bank Indonesia sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk mencetak uang, dengan hak yang dikenal sebagai hak mensubsidi.

Uang, sebagai alat pembayaran yang sah, merupakan satuan nilai yang diterima dalam bentuk fisik untuk transaksi ekonomi yang berlangsung dalam suatu negara. Setiap negara memiliki mata uang dengan satuan nilai yang berbeda-beda. 

Mata uang tersebut terdiri dari uang kertas dan koin yang diterbitkan oleh bank sentral atau otoritas keuangan negara, yang bertanggung jawab sebagai penyedia tunggal dan pengatur aliran uang di dalam sistem ekonomi negara tersebut.

Sejarah Uang

Pada awalnya, manusia tidak mengetahui sistem pertukaran karena setiap individu berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri. 

Mereka berburu untuk mendapatkan makanan, membuat pakaian dengan bahan alami, dan mencari buah-buahan untuk dikonsumsi. Singkatnya, apa yang mereka peroleh adalah apa yang mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Namun, perkembangan selanjutnya mengungkapkan bahwa apa yang mereka hasilkan sendiri tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan. 

Mereka mulai mencari orang lain yang bersedia menukarkan barang mereka dengan barang yang mereka perlukan. 

Namun, sistem barter ini menimbulkan banyak kesulitan, di antaranya adalah sulitnya menemukan orang yang memiliki barang yang diinginkan dan juga bersedia menukarkan barang tersebut, serta sulitnya menilai nilai barang-barang yang dipertukarkan.

Selain itu, ketidakpastian politik menyebabkan ketakutan terhadap sistem barter. Untuk mengatasi hal tersebut, muncullah ide menggunakan barang tertentu sebagai alat tukar yang diterima oleh banyak orang. 

Barang-barang ini bisa berupa barang bernilai tinggi, sulit didapat, atau yang dianggap memiliki nilai magis, atau barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok sehari-hari. 

Namun, meskipun ada barang-barang yang digunakan sebagai alat tukar, masih ada kesulitan lain, seperti tidak adanya pecahan, kesulitan dalam menentukan nilai uang, dan tantangan dalam menyimpan serta mengangkut barang tersebut. 

Selain itu, daya tahan barang-barang tersebut terbatas, karena mudah rusak atau tidak dapat digunakan dalam jangka panjang.

Pada zaman kuno, manusia purba tidak mengenal uang atau alat tukar seperti yang kita kenal sekarang. Pada masa itu, manusia mampu memenuhi semua kebutuhan mereka dari sumber daya alam yang ada di sekitar mereka. 

Begitu sumber daya alam mulai habis, mereka melanjutkan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang lain. 

Uang sebagai alat tukar baru muncul pada peradaban kuno, di mana orang mulai menukar barang mereka dengan barang orang lain melalui sistem barter. 

Seiring berjalannya waktu, orang mulai menggunakan alat tukar tertentu yang disebut uang komoditas. Uang ini muncul setelah manusia mulai menguasai tulisan dan sistem transaksi yang lebih terstruktur.

Selanjutnya, uang mulai berbentuk koin. Koin pertama kali muncul di Cina sekitar tahun 1000 SM. Koin dipilih sebagai alat tukar karena memiliki nilai yang tinggi, tahan lama, sulit rusak, mudah dipindahkan, dan memiliki nilai yang stabil meskipun pecah. 

Koin-koin yang digunakan pada masa itu terbuat dari logam mulia seperti emas dan perak. Pada saat itu, nilai intrinsik (nilai material) dari uang koin sama dengan nilai nominal yang tertera pada koin tersebut. 

Setiap orang pada waktu itu memiliki hak untuk menciptakan, menggunakan, atau menjual koin tersebut.

Namun, seiring berkembangnya ekonomi, kesulitan muncul karena kebutuhan akan koin meningkat, sementara jumlah logam mulia seperti emas dan perak terbatas. Penggunaan koin juga mulai terasa sulit untuk transaksi dalam jumlah besar. 

Pada saat itulah, uang kertas mulai diperkenalkan, pertama kali di Cina pada masa Dinasti Tang. 

Uang kertas pada awalnya digunakan sebagai bukti kepemilikan emas atau perak yang disimpan di tempat tertentu, seperti toko perhiasan, dan bisa ditebus kapan saja. 

Seiring perkembangan selanjutnya, penggunaan uang kertas menggantikan penggunaan emas sebagai alat tukar. Uang kertas menjadi "dokumen" yang sah untuk melakukan transaksi.

Uang Kuno pada Zaman Kerajaan di Indonesia

Sebelum periode Kerajaan Hindu-Buddha, perdagangan di Nusantara membutuhkan alat pembayaran yang diterima secara luas untuk menggantikan sistem barter. 

Pada awalnya, alat pembayaran yang digunakan sangat sederhana, seperti kerang yang dipakai di Irian, mutiara di Bengkulu dan Pekalongan, serta belincung (sejenis kerang) di Bekasi.

Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, sistem pembayaran mengalami perkembangan, terutama dalam hal bahan dan desain. 

Di Jawa, alat pembayaran mulai berbentuk logam. Uang logam tertua yang diketahui berasal dari awal abad ke-12, terbuat dari emas dan perak, yang dikenal sebagai Krisnala (Hantu Uang Koin) dari kerajaan Jenggala. 

Di luar Jawa, kerajaan Buton juga mengeluarkan perak Kampua pada abad ke-9. Kerajaan besar Hindu-Buddha di Nusantara, seperti Sriwijaya dan Majapahit, memiliki mata uang mereka sendiri. 

Sayangnya, sisa-sisa dari kerajaan Sriwijaya belum ditemukan. Namun, kerajaan Majapahit meninggalkan koin perunggu Gobog yang diperkirakan beredar antara abad ke-15 dan 16 Masehi. 

Selain sebagai alat pembayaran, koin ini juga banyak digunakan sebagai benda keramat.

Contoh Jenis Mata Uang Kuno

Berikut ini adalah contoh jenis mata uang kuno yang pernah beredar di Indonesia sepanjang sejarah.

Uang pada Masa Kerajaan Islam di Indonesia

Pada abad ke-15, seiring dengan penyebaran Islam di Nusantara, beragam mata uang yang diterbitkan oleh kerajaan-kerajaan Islam mulai beredar, seperti mata uang dari Samudera Pasai, Aceh, Jambi, Palembang, Banten, dan Sumenep. 

Koin yang diterbitkan biasanya memiliki tulisan dalam bahasa Arab. Sebagai contoh, koin dari Jambi menunjukkan tulisan “Sanat 1256” di sisi belakang dan “Cholafat al Mukmin” di sisi depan. 

Menariknya, uang dari Kerajaan Sumenep terbuat dari uang asing yang kemudian dicap dengan tulisan Arab yang bertuliskan “Sumenep.” 

Ini menandakan bahwa kesultanan-kesultanan pada masa itu terlibat aktif dalam perdagangan di Nusantara, dengan mata uang kerajaan yang beredar bersamaan dengan uang asing. 

Contohnya, satu real Spanyol bernilai setara dengan 16 mas Aceh (dirham), dan satu shilling Inggris setara dengan 5 mas Aceh (dirham).

Uang pada Masa Pendudukan Belanda

VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang beroperasi antara tahun 1602 hingga 1799, menguasai perdagangan di Nusantara dan berupaya menggantikan semua mata uang asing yang beredar. 

Sebagai pengganti Real Spanyol yang populer, VOC mengedarkan Real Belanda. Selain itu, koin perak Belanda, Rijksdaalder, menjadi alat pembayaran yang umum digunakan di Nusantara. 

Pada tahun 1727, VOC memperkenalkan duit (dong) sebagai pengganti mata uang China, Cassie. 

Tak lama setelah itu, pada tahun 1728, VOC meluncurkan uang kertas berupa sertifikat yang diterima dengan baik oleh masyarakat, mendorong VOC untuk meningkatkan jumlahnya, dengan pecahan mulai dari 1 hingga 1000 Rijksdaalder. Sejak 1783, VOC juga mengedarkan uang kertas yang dijamin 100% oleh perak.

Uang pada Masa Pemerintahan Hindia Timur dan Hindia Belanda

Pada tahun 1817, untuk menggantikan mata uang Ropij Jawa, koin emas Hindia Belanda (gulden) mulai dikeluarkan oleh Komisaris Jenderal Elout, Buyskes, dan Van der Capellen, yang mewakili pemerintah Belanda di Hindia Belanda. 

Pada tahun 1825, Raja Willem I mengusulkan pembentukan sebuah bank di Jawa yang dilanjutkan dengan pendirian Bank De Javasche pada tahun 1828, dengan izin khusus dari Raja Belanda (Oktroi). 

Bank ini diberi kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang kertas dengan nilai lima gulden atau lebih. 

Meskipun pencetakan terbatas, uang logam seperti duit (uang perunggu yang dikeluarkan VOC pada tahun 1727) tetap beredar di Hindia Belanda di bawah kebijakan Van Den Bosch.

Uang pada Masa Pendudukan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang, kebijakan keuangan sepenuhnya diatur oleh Gunseikanbu, pemerintah militer pusat Jepang, yang berusaha mempertahankan nilai mata uang India Timur Belanda dan rupee, dengan melarang penggunaan mata uang lain. 

Selain itu, pemerintah Jepang menerbitkan dan mengedarkan uang kertas yang dikenal sebagai uang penaklukan. 

Edisi pertama dikeluarkan pada tahun 1942 dalam bahasa Belanda, edisi kedua dengan tulisan “Pemerintahan Dai Nippon” tidak diterbitkan, dan edisi ketiga yang bertuliskan “Dai Nippon Teikoku Seihu” diterbitkan pada 1943. 

Setelah Sekutu mendarat di Tanjung Priok pada 29 September 1945, Pangdam melarang penggunaan mata uang Jepang dan menggantinya dengan uang NICA (Netherlands Indies Civil Administration).

Uang pada Masa Awal Kemerdekaan Indonesia

Setelah Indonesia merdeka, situasi moneter negara sangat terpuruk. Diperkirakan sekitar empat miliar rupee Jepang beredar, dengan 1,6 miliar di Pulau Jawa. 

Kondisi keuangan semakin memburuk setelah NICA dan Sekutu menduduki kota-kota besar dan mengambil alih bank-bank Jepang, yang kemudian menerbitkan rupiah Jepang dari bank-bank tersebut. 

NICA menggunakan rupiah Jepang untuk mendanai operasinya, membayar gaji staf, dan mengedarkannya ke seluruh Indonesia untuk menarik simpati publik. 

Selain itu, NICA juga mengeluarkan koin baru yang disebut mata uang NICA. Hal ini semakin memperburuk keadaan keuangan Indonesia. 

Pemerintah Indonesia akhirnya menetapkan bahwa mata uang yang beredar hingga masa pendudukan Jepang diakui sebagai alat pembayaran yang sah, berdasarkan deklarasi pada 3 Oktober 1945. 

Sebelumnya, pada 2 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa mata uang NICA tidak lagi berlaku di wilayah Indonesia.

Uang Resmi Pemerintah Indonesia Pasca Kemerdekaan

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Bank Indonesia Nomor 11 Tahun 1953, Bank Indonesia diberi kewenangan untuk menerbitkan dan mengedarkan uang kertas dengan pecahan lima Rupiah atau lebih. 

Uang kertas dengan nilai di bawah lima Rupiah dan koin berada di bawah yurisdiksi pemerintah Indonesia. 

Kemudian, dengan Undang-Undang Bank Sentral No. 13 Tahun 1968, Bank Indonesia menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki hak eksklusif untuk menerbitkan dan mengedarkan uang kertas dan koin. 

Kewenangan ini diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 pada 15 Januari 2004.

Sebagai penutup, jenis mata uang kuno mencerminkan perjalanan sejarah ekonomi dan budaya, menunjukkan bagaimana peradaban zaman dahulu mempengaruhi sistem keuangan masa kini.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index