JAKARTA - Pergerakan harga batu bara global kembali menjadi sorotan menjelang memasuki bulan September 2025. Setelah sepanjang Agustus harga si batu hitam mencatatkan pelemahan cukup tajam, pasar kini menimbang kemungkinan adanya pembalikan arah atau rebound di bulan berikutnya.
Pada penutupan perdagangan Jumat, 29 Agustus 2025, kontrak batu bara ICE Newcastle untuk pengiriman bulan depan ditutup di level US$109,6 per ton. Angka ini mencerminkan kenaikan tipis 0,05% dibandingkan transaksi hari sebelumnya. Kendati begitu, secara keseluruhan harga masih belum mampu menutup pelemahan yang sudah terbentuk sepanjang bulan.
Jika dilihat secara mingguan, harga batu bara terkoreksi 1,53% secara point-to-point. Sementara secara bulanan, pelemahan lebih dalam tercatat, yakni sebesar 4,74%. Penurunan pada Agustus ini bahkan menjadi koreksi bulanan yang signifikan, di mana pada pekan terakhir harga jatuh paling dalam selama tujuh pekan terakhir.
Tekanan dari Kebijakan Ekspor Indonesia
Salah satu faktor utama yang mendorong koreksi harga batu bara adalah perubahan kebijakan ekspor yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia. Sebagai salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia, kebijakan yang keluar dari Jakarta selalu memiliki dampak langsung ke pasar global.
Pada bulan lalu, pemerintah resmi mencabut kewajiban penggunaan Harga Patokan Batu Bara (HPB) untuk ekspor. Langkah ini memungkinkan para penambang menjual produk mereka di bawah harga patokan, sesuai mekanisme pasar. Artinya, harga jual bisa lebih fleksibel dan kompetitif, namun di sisi lain menambah tekanan terhadap harga batu bara di pasar internasional.
Dengan aturan baru tersebut, volume penawaran dari Indonesia diperkirakan lebih leluasa. Situasi ini menciptakan tekanan tambahan terhadap harga, yang pada akhirnya turut berkontribusi pada koreksi di bulan Agustus.
Potensi Perubahan di Bulan September
Meski Agustus ditutup dengan tren penurunan, banyak pelaku pasar menilai September bisa menjadi momentum kebangkitan harga batu bara. Beberapa faktor yang mendukung pandangan ini antara lain proyeksi permintaan dari sejumlah negara konsumen utama, terutama menjelang periode musim dingin di belahan bumi utara.
Permintaan energi biasanya meningkat seiring persiapan menghadapi cuaca dingin. Batu bara sebagai salah satu sumber energi tetap memainkan peran penting dalam bauran energi, khususnya di negara-negara yang masih mengandalkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Selain itu, dinamika harga energi global, termasuk minyak mentah dan gas alam, juga bisa memengaruhi pergerakan harga batu bara. Jika harga energi lain cenderung naik, batu bara bisa ikut terdorong karena menjadi alternatif yang lebih ekonomis.
Prospek Jangka Pendek
Meskipun ada peluang kenaikan harga di September, sejumlah analis tetap menekankan kehati-hatian. Pasar batu bara masih dibayangi ketidakpastian, baik dari sisi regulasi maupun kondisi geopolitik global.
Kebijakan domestik dari negara eksportir besar seperti Indonesia, Australia, hingga Rusia, akan terus memengaruhi dinamika harga. Begitu pula dengan permintaan dari negara-negara importir utama seperti Tiongkok dan India. Jika permintaan meningkat, harga bisa pulih lebih cepat. Namun jika melemah, tren penurunan mungkin berlanjut.
Dalam konteks tersebut, harga penutupan akhir Agustus di level US$109,6 per ton dapat menjadi patokan penting untuk melihat arah selanjutnya. Kenaikan tipis yang terjadi pada perdagangan terakhir bisa menjadi sinyal awal adanya potensi rebound, meski konfirmasi lebih lanjut masih diperlukan.