JAKARTA - Meskipun kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan menunjukkan tren positif, nasib berbeda justru dialami komoditas batu bara. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, ekspor batu bara sepanjang Januari hingga Juli 2025 mengalami penurunan cukup signifikan. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana ketergantungan pada komoditas energi tidak lagi bisa menjadi penopang utama kinerja ekspor nasional.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa sekaligus Plt Deputi Bidang Metodologi dan Informasi Statistik BPS, Pudji Ismartini, menjelaskan bahwa penurunan harga energi dunia menjadi faktor kunci yang menekan ekspor batu bara.
“Harga komoditas energi mengalami koreksi baik secara bulanan maupun tahunan. Khusus batu bara turun sekitar 2%, sehingga berdampak pada kinerja ekspor pertambangan yang pada Juli 2025 juga mengalami kontraksi,” ujar Pudji dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (1/9/2025).
Ekspor Batu Bara Tergerus, Sektor Lain Justru Menguat
Sepanjang tujuh bulan pertama 2025, nilai ekspor batu bara tercatat merosot 21,74% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Padahal, bila dilihat dari total keseluruhan, ekspor Indonesia justru masih tumbuh 8,03% menjadi USD160,16 miliar. Artinya, pelemahan batu bara tidak serta merta menjatuhkan performa ekspor nasional karena ada sektor lain yang mampu mengisi kekosongan.
Pudji menekankan, kontribusi industri pengolahan dan pertanian menjadi penopang utama pertumbuhan ekspor non-migas. “Pendorong utama ekspor non-migas berasal dari industri pengolahan, diikuti sektor pertanian. Sebaliknya, ekspor pertambangan justru mengalami penurunan,” jelasnya.
Komoditas Unggulan yang Tetap Bersinar
Jika batu bara tengah tertekan, berbeda halnya dengan beberapa komoditas unggulan lain. Data BPS menunjukkan ekspor besi dan baja masih tumbuh 10,29%, sementara crude palm oil (CPO) bersama produk turunannya melonjak tajam hingga 32,92%. Kinerja ini menunjukkan diversifikasi ekspor Indonesia mulai terlihat hasilnya, di mana produk berbasis pengolahan dan sektor perkebunan mampu mengimbangi lemahnya pertambangan.
“Nilai ekspor besi dan baja naik 10,29%, CPO dan turunannya meningkat 32,92%, sedangkan batu bara turun 21,74% secara kumulatif,” ungkap Pudji.
Tren ini sekaligus menjadi sinyal bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk lebih serius mendorong sektor-sektor non-energi agar ketahanan ekspor Indonesia tidak terlalu bergantung pada satu komoditas.
Neraca Perdagangan Tetap Surplus
Meskipun batu bara lesu, neraca perdagangan Indonesia masih membukukan surplus yang cukup besar. Sepanjang Januari–Juli 2025, surplus tercatat USD23,65 miliar. Kondisi ini terjadi karena ekspor non-migas, terutama dari CPO, besi baja, dan logam mulia, berhasil menopang keseimbangan perdagangan.
Surplus ini penting karena menunjukkan fundamental perdagangan Indonesia tetap kuat meski salah satu komoditas unggulannya sedang mengalami penurunan. Dengan demikian, risiko terhadap stabilitas ekonomi nasional dapat ditekan.
Dampak Penurunan Harga Energi Dunia
Pudji menjelaskan, koreksi harga energi global yang memukul batu bara bukan hanya terjadi di Indonesia. Tren pelemahan harga energi memang menjadi fenomena internasional yang dipicu melambatnya permintaan dari beberapa negara konsumen utama.
Selain itu, transisi energi yang semakin digencarkan oleh banyak negara turut menggeser peta kebutuhan energi dunia. Batu bara sebagai sumber energi fosil mulai dikurangi penggunaannya, sementara energi terbarukan perlahan mendapatkan porsi lebih besar.
Bagi Indonesia, hal ini menjadi tantangan sekaligus momentum untuk memperkuat sektor-sektor lain. Sementara itu, bagi perusahaan tambang batu bara, pelemahan harga dunia jelas berpengaruh pada margin keuntungan dan daya saing di pasar internasional.
Peluang Diversifikasi Ekspor
Kondisi saat ini memberi pelajaran penting bahwa bergantung terlalu besar pada komoditas mentah berisiko tinggi. Fluktuasi harga di pasar global bisa langsung menekan kinerja ekspor. Karena itu, dorongan untuk memperbesar ekspor produk olahan bernilai tambah tinggi harus semakin dipercepat.
Sektor industri pengolahan, perkebunan, hingga manufaktur terbukti mampu memberikan kontribusi positif. Besi, baja, CPO, dan produk turunannya adalah contoh bagaimana diversifikasi dapat menopang ekspor bahkan ketika komoditas energi jatuh.
Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat memperkuat posisi dalam rantai pasok global, bukan hanya sebagai pemasok bahan mentah, melainkan juga produsen barang setengah jadi hingga produk jadi yang lebih bernilai.